Kembali berinteraksi di luar kelas bersama dengan anak-anak adalah hal yang sangat membahagiakan saya. Seperti menemukan kembali bagian yang pernah hilang di 3 tahun lalu. Terasa sekali energi saya menjadi sangat berlipat-lipat, padahal hari itu, Senin 12 Oktober 2015 kondisi saya sedang flu berat dan kehilangan suara. Saya baru menyadari, ternyata kebahagiaan saya adalah saat mendampingi mereka menemukan moment “aha”nya yang selalu terlihat unik.
Sebelum saya melakukan pendampingan, saya harus mengingat kembali strategi apa yang harus saya ambil, membayangkan dan memprediksi hambatan yang kemungkinan akan muncul serta menyiapkan beberapa rancangan sebagai solusinya. Saya memutuskan akan menggunakan strategi dukungan 101%. Inspirasinya didapatkan dari fakta sederhana berikut:
“Air mendidih pada suhu 100oC, tapi pada suhu 990C air tersebut hanya disebut air panas. Penambahan suhu 1oC saja mampu membedakan antara panci berisi cairan lemah dengan ketel mendidih bermuatan energi. 10C saja dapat mengubah air menjadi tenaga uap, cukup untuk menggerakkan kereta dengan muatan berton-ton. 10C itu bisa menjadi momentum”.
Saya berusaha menemukan momentum itu pada pengurus OSIS, karena momentum dapat merupakan agen perubahan terbaik, sehingga dapat dijadikan satu-satunya pembeda antara iklim pertumbuhan positif menuju keberhasilan, dan iklim pertumbuhan negatif menuju kegagalan. Bagaimana caranya? Memulainya dengan membangun komitmen bersama serta senantiasa memelihara sumber daya yang ada yang akan melahirkan konsistensi. Untuk itu, kemudian saya menghubungi pembina OSIS untuk meminta ijin melakukan pendampingan pada para pengurus OSIS. Sebenarnya Jika saya mau, bisa saja saya menentukan dengan mudah anak-anak mana saja yang akan didampingi. Tetapi saya teringat Diandra, GSB MSA angkatan ke-1 SMPN.11 Bandung yang sekaligus ketua OSIS kala itu. Salah satu mimpinya adalah menjadikan kegiatan “Gerakan Siswa Bersatu” ini menjadi gerakan OSIS-satu-satunya organisasi resmi yang ada di sekolah. Kemudian disepakati lah, kami akan bertemu pada jam 13.30 di Rumos, istilah yang mereka gunakan untuk ruang OSIS.
Saat kegiatan berlangsung, hal pertama kali yang saya lakukan adalah membuat kesepakatan waktu sebagai bentuk komitmen awal. Kapan dimulai, berapa lama kegiatan tersebut akan dilakukan, hal-hal apa saja yang harus didapatkan, serta kapan kegiatan tersebut akan berakhir. Setelah itu, saya pun meminta kesepakatan siapa yang akan memimpin diskusinya. Saya menegaskan, akan mengambil peran sebagai fasilitator. Dan disepakatilah Kamil dari kelas 9.2 yang kemudian menjadi pemimpin diskusi.
Selama jalannya diskusi, saya menemukan dinamika kelompok yang menarik (hmm…mungkin ini hanya menurut pendapat saya pribadi saja). Ternyata Kamil telah menggunakan stategi tutor sebaya. Sesuai dengan kesepakatan mereka, ada 4 tim yang akan melakukan observasi kondisi sekolah, maka Kamil langsung menawarkan kepada teman-temannya, “siapa yang bersedia menjadi ketua tim?” demikian tawarannya. Dan yang mengagumkan adalah teman-temannya langsung merespon cepat dengan mengacungkan tangan serta langsung berdiri. Keempat ketua tim tersebut adalah :
1. Ketua Tim 1 : Naufal, 9.7
2. Ketua Tim 2 : Zahra, 9.11
3. Ketua Tim 3 : Rabia, 9.10
4. Ketua Tim 4 : Fina, 8.1
Saya kemudian berandai-andai….jika guru di kelas dapat mendorong setiap anak untuk bersikap seperti itu, maka ibu/bapak guru akan dimudahkan dalam menjalankan proses pembelajarannya. Mungkin hal ini bisa menjadi bahan pemikiran KerLiP dalam menyelenggarakan kegiatan pendampingan untuk guru.
Kemudian Kamil melanjutnya tawarannya, “bagi teman-teman yang lain, silahkan langsung bergabung dengan ketua tim pilihannya”.
Sambil menunggu mereka berkelompok, Kamil bertanya pada saya, “Bu, tahap berikutnya apa lagi? maaf bu, saya tanyakan karena saya belum paham seperti apa kegiatan ini akan dilakukan”. Bagi saya yang sedang berkonsentrasi pada proses pembelajaran berbasis pemenuhan Hak anak, pertanyaan tersebut adalah hal yang luar biasa dan menandakan salahsatu cirri kemunculan CACT…Cara Asyik Cari Tahu. Saya merasakan, Kamil-sang wakil ketua OSIS itu- menunjukkan karakter jujur, santun, dan rendah hati. Kemudian saya menjelaskan padanya bahwa dari 4 tim itu akan melakukan observasi di sekolah. Ada yang membuat peta sekolah dan peta zona aman, hati-hati, dan tidak aman di lantai atas. Ada juga yang membuat hal yang sama untuk lantai bawah. Selain itu juga diputuskan titik kumpul evakuasi akan di wilayah mana, pemilihan warna yang digunakan dalam rambu-rambu evakuasi, serta kesepakatan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya.
Selama kegiatan CACT berlangsung, Kamil memastikan tiap kelompok dapat saling belajar. Diapun berperan sebagai time kipper, sehingga kegiatan dapat berjalan sesuai dengan harapan dan kesepakatan awal. Kamil memastikan observasi lapangan dapat dilakukan dalam waktu 15 menit, sehingga semua tim mampu menyelesaikannya dalam waktu 1 jam. Setiap tim menghasilkan denah sekolah yang dibuat sederhana, termasuk penentuan zona-zona yang digunakan dalam rambu-rambu evakuasi serta foto-foto kegiatan tiap tim saat melakukan observasi sekolah. Wah…pencapainya yang luar biasa hebat… semuanya dilakukan oleh anak-anak sementara saya hanya mengamati bagaimana proses pembelajarannya. Setelah 1 jam, saya menyempatkan diri meminta mereka membuat testimoni tentang apa yang mereka rasakan saat belajar melakukan observasi sekolah selama 1 jam. Ternyata hasilnya sangat baik, hampir semua anak merasakan manfaat dari kegiatan dengan mendapat ilmu baru yang sangat penting dan menyenangkan tentu saja.
Karena saya sedang membelajarkan mematuhi komitmen bersama, maka kegiatan saya akhiri pada jam 15.00. Tapi saya juga sampaikan kepada mereka, bahwa tahap mendengarkan dan didengarkan belum dilakukan. lalu kami membuat kesepakatan, akan dilakukan pada hari Selasa setelah pulang sekolah.
Sampai bertemu di CACT tahap dua…..
(12 Oktober 2015)