ASEAN Convention onTrafficking in Persons (ACTIP) dan POA di tingkat Nasional dan Regional
Menkopolhukam, 3 Desember 2015
Rapat ini dipimpin Bapak Dupito Simamora dari Menkopolhukam yang dihadiri oleh Kemenlu, AICHR, Menkopolhukam, Mabes Polri, Kemenhukam, KPPPA, LIPI, Menhan, Menkopolhukam dan Kemensos (Pokja Trafficking : Yanti, Kencana dan Carla).
Tiga agenda rapat yang dibahas adalah :
Proses percepatan ratifikasi ACTIP di nasional.
Bapak Karjono selaku Direktur Harmonisasi Peraturan PerUUan Menhukam mempresentasikan proses ratifikasi di Indonesia. Presiden selaku pembuat UU yang diatur oleh Konstitusi dapat meratifikasi sebuah Konvensi Internasional dengan atau tanpa persetujuan DPR. Proses ratifikasi ACTIP ini dapat dilakukan melalui UU yang tidak perlu masuk dalam prolegnas. Mabes Polri akan siapkan draft akademiknya dan akan didiskusikan dengan Kemenlu dan Kemenhukam selaku lembaga yang akan ajukan ke Presiden. Proses ini akan berjalan dengan cepat mengingat Indonesia adalah inisiator Konvensi ini di ASEAN. Draft akademik akan dibagikan ke peserta rapat juga.
Implementasi ACTIP di tingkat nasional dan regional. Ibu Danti Anwar mewakili KPPPA sebagai Ketua Harian Gugus Tugas TPPO Nasional mempresentasikan kondisi terakhir Gugus Tugas TPPO. Laporan kegiatan sudah diberikan berupa kerja dari 19 Kementerian dan Lembaga terkait yang terbagi dalam enam bidang gugus tugas yakni : 1.Kemendikbud utk persoalan anak dan pencegahan; 2. Rehabilitasi Kesehatan oleh Menkes dimana belum banyak korban TPPO menjadi anggota BPJS sehingga ini menjadi masalah saat terjadi kasus, 3.Rehabilitasi Sosial oleh Mensos dimana belum banyak rumah pelayanan dan rehabilitasi bagi penyintas di tingkat nasional dan daerah serta waktu pelayanan kepada penyintas hanya dua minggu saja setelah itu, tidak ada kelanjutannya lagi. 4. Norma Hukum oleh Dirjen PerUUan-Menhukam, penegakan hukum belum berjalan dengan baik. 5. Penegakan Hukum oleh Bareskrim masih terkendala banyak hal juga. 6. Kerjasama yang dilakukan oleh Dirjen Binapenta Depnaker dengan melakukan MOU dengan Negara penerima dan transit.
Saat ini gugus tugas sedang menyiapkan RAN TPPO tahun 2016-2019 yang akan didiskusikan 7 September 2015. Menurut Ibu Danti, Pak Sonny mengikuti rapat sebelumnya.
Sinkronisasi Gugus Tugas TPPO dan Desk ACTIP Menkopolhukam.
Ibu Nuke dari LIPI mempresentasikan kemungkinan “pertunangan” antara Gugus Tugas dan Desk Menkopolhukam untuk koordinasi kerja ke depan. Persoalan Trafficking akan menjadi prioritas nasional dua tahun ke depan sehingga dibutuhkan gerak cepat ke depan. Mengingat Menkopolhukam bukan anggota saat ini dan gugus ini dibentuk oleh Keppres maka peluang agar Menkopolhukam dilibatkan dijajaki juga. Apalagi mengingat beberapa kementerian terkait di bawah Menko Polhukam. Selain itu persoalan trafficking memiliki dimensi politik dan HAM sehingga “sinergi” itu perlu dibangun.
Dari diskusi yang mengalir, peserta rapat merasa kalau Menko Maritim pun perlu dilibatkan karena mengenai perbatasan negara di laut juga dan persoalan trafficking ini bersentuhan erat dengan migrasi dan pertanyaan soal isu dan program migrasi dalam pembangunan nasional saat ini. Sehingga soal migrasi dan pembangunan menjadi keterkaitan dengan Menko ekonomi juga. Untuk saat ini rapat memutuskan agar Menkopolhukam perlu “bicara” dengan Menko PMK soal sinergi kerja ke depan dan diharapkan satu saat isu trafficking dibicarakan di rapat cabinet sebagai sebuah isu yang penting dan mendesak.
Menkopolhukam menginformasikan kalau tahun depan akan diselenggarakan Asean Regional Forum on Trafficking di Jakarta yang merupakan kerjasama Indonesia dan EU. Tim Pokja menginformasikan kalau kita perlu berbicara lebih lanjut mengingat Pokja merencanakan untuk mengadakan Konferensi Asia Pacific penanganan rehabilitasi sosial bagi penyintas TPPO. Apakah Pokja bisa menjajaki untuk membuat lokakarya/diskusi soal ini di sela jadwal pertemuan tersebut.
Catatan Tambahan:
1..Vietnam sedang menyusun media komunikasi untuk meningkatkan kesadaran mengenai trafficking in person. ICHR akan mengundang lebih banyak stakeholder.
2. Makna tentang trafficking harus lebih operasional agar dapat dipahami hingga di pedesaan
3. Sangat penting bagi Indonesia untuk mendorong tersedianya kerangka hukum di Negara-negara anggota ASEAN
4. Di tingkat ASEAN, TPPO ditangani oleh sektor politik, hukum, dan keamanan alih-alih komunitas sosial budaya yang tidak terlalu aktif. Di Indonesia, penanganan TPPO dipimpin oleh MenkoPMK, hal ini perlu diselaraskan dengan inisiatif di tingkat ASEAN agar kerangka payungnya lebih politis.
5. Rencana Aksi di tingkat nasional sudah luar biasa di Indonesia, tapi di daerah masih sangat sektoral sehingga membutuhkan peningkatan kapasitas untuk memperkuat koordinasi antar sektor
6. LSM (bukan hanya CSO) perlu diperkuat untuk membantu penanganan dalam bentuk pendampingan korban/penyintas sampai di desa.
7. Terkait restitusi, UU no. 21 tahun 2007 cukup sebagai dasar. Diperlukan juknis atau pedoman teknis untuk kejaksaan dan kepolisian agar dapat melakukan sita restitusi.
8. Sudah ada MoU antara provinsi pengirim dan penerima trafficking.
9. Perlu UU untuk meratifikasi ACTIP. Pengesahan perjanjian tertentu tidak perlu masuk prolegnas menurut UU pasal 23 tahun 2012.
10. Setiap kelompok gugus tugas dapat membentuk tim pokja seperti yang dilaksanakan kemensos, yang terdiri dari 20-30 orang dari LSM, CSO, dsb.
11. Perlu penguatan Kemendikbud, tidak hanya Paud Dikmas tapi juga Dikdasmen untuk menangani penjegahan TPPO.
12. Kendala penanganan TPPO:
– Belum semua kementerian/lembaga memasukkan isu ini ke dalam anggaran
Identitas palsu
– Pemahaman yang bervariasi
– Pembiayaan untuk rehabilitasi kesehatan belum masuk ke BPJS kesehatan
– Waktu rehabilitasi dibatasi maks. 2 minggu, sehingga harus dikembalikan sebelum rehabilitasi tuntas
– Pendampingan di pedesaan masih sangat terbatas
– Persepsi aparat hukum masih bervariasi : korban trafficking atau hanya buruh migran bermasalah
Dicatat oleh Carla Natan dan Yanti KerLiP
Jakarta, 7 Desember 2015