KILAUNUSANTARA

[ Opini ]

TENTANG PEMIMPIN DAN KEPEMIMPINAN

Dalam term umum (gereric), jika ada istilah/sebutan “pemimpin”, maka pasti lah ada sebutan “yang dipimpin”. Jika begitu, maka siapa kah atau apakah pemimpin itu, dan siapa/apa pula yang dipimpin itu.

Dalam ajaran agama kita, dinyatakan bhw pada dasarnya setiap individu adalah pemimpin (krena sekurang2nya dia punya tanggungjawab utk memimpin diri sendiri ke jalan kebenaran dan kebajikan), dan setiap pemimpin (individu) itu pasti akan dimintai pertanggung jawabannya.

“Kullukum ro’in wa kullukum mas’unluhu anraa’iyatiihi” (Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban).

Ini lah teori dasar tentang pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership) dalam ajaran agama kita (Islam).

Sesungguhnya, sepanjang hayat hidup kita, sejak baligh hingga maut menjemput adalah rentang waktu yg Allah karuniakan utk buktikan tegaknya prinsip dasar kepemimpinan itu dlm khidupan individu kita masing2. Oleh krenanya, maka penghayatan mendalam thdp makna ‘pemimpin’ ini lah yg mnjadi kunci dasar bagi pmahaman ttg kpemimpinan scara komunal dan sosial.

Sebegitu pentingnya arti/makna kepemimpinan ini, sampai Sang Pencerah, Baginda Rasul Muhammad SAW harus menegaskan-nya seperti di atas. Tentu kita bisa bayangkan,  jika memimpin diri sendiri (ifda bi_nafsihi) saja bukan lah hal yg mudah dan ringan, apalagi menjadi pemimpin komunal dan sosial, tentu jauh lebih kompleks dan sama sekali tidak ringan. Dibutuhkan ketetapan hati, kekuatan tekad, kebesaran jiwa, ketenangan bersikap, sekaligus keberanian dan keikhlasan utk memikul resiko.

Pemimpin (individu) yg baik adalah individu yg selalu bersemangat dlm hidupnya, tidak loyo/lesu oleh sebab apapun, selalu berfikiran positif, ikhlas menjalani hari2nya, tidak mudah putus asa dan menyerah. Krena baginya aktivitas berkerja adalah ibadah kepada Tuhannya. Ia selalu bekerja dan bekerja dgn penuh ksungguhan dan bertawakal akan hasilnya, mski tak jarang ia hrus dapatkan respon/reaksi negatif atau sinistik krena usahanya blum mebghasilkan, dan itu datang bukan saja dari lingkungan eksternal (luar), bahkan dari internal (dalam) yg brada dlm otoritas kepemimpinannya itu.

Pemimpin seperti ini lebih memilih jalan sunyi/senyap atas proses ikhtiar/prjuangannya, ktimbang jalan gaduh, heboh dan hiruk-pikuk.  Seringkali pmikirannya yg visioner, inovatif, bertujuan memikirkan kebaikan banyak orang, serta brtujuan membangun masa depan yg lebih baik, menjadi tidak bernilai dan tidak berarti apa2 ktika dihadapkan dgn respon/reaksi negatif dlm berbagai bentuk (ketidakpercayaan, sinistik, sindiran, penentangan, bahkan hasutan dan fitnah) yg memberatkan hati, krena belum nampak/terlihatnya hasil nyata dlm jgka pendek. Padahal pemimpin yg handal adalah pemimpin yg memiliki mimpi, cita-cita dan visi tentang masa depan (jangka panjang) dan sedang bekerja/ikhtiar/berjuang secara nyata/riel utk mwujudkan nya, bukan hanya berorientasi masa kini (jangka pendek).

Pemimpin spyi ini sesungguh nya adalah pemimpin yg bekerja berdasar prinsip ajaran agama “Barangsiapa yang bekerja untuk akhirat (masa depan/jangka panjang) nya, maka dunia (masa kini/jangka pendek) pun akan didapatkannya. Tapi barangsiapa bekerja untuk dunia (masa kini/jangka pendek) nya, maka ia akan mendapatkan sebatas dunia saja (akhirat terlepas)”.

Sama dgn adab/akhlaq pergaulan sosial yg diajarkan oleh uswah (contoh) kita yaitu Rasulullah Muhammad SAW, bahwa pd setiap diri (individu) melekat kewajiban dan tanggung jawabnya utk saling jaga silaturahmi, saling membangun kerakter kebaikan, menjauhkan diri dari penyakit hati (amradul_qulb) maupun perbuatan2 fasad, tajayus, aniaya dan zalim, maka pd diri stiap pemimpin dlm lingkup komunal/sosial sekecil apapun, memiliki kewajiban dan tanggungjawab terhadap hal-hal kebajikan tersebut (di atas).

Maka adalah keliru/salah besar, jika kita membiarkan saudara kita di mana pun berada (trmsuk dlm sbuah prrusahaan yg sama) brtindak semaunya yg tidak peka dgn situasi (dan bahkan memperburuk keadaan/suasana), smntara tindakan konyol itu alih-alih memberikan solusi, bahkan tindakan itu memicu disharmoni, dan tekanan2 psikologis yg tdk perlu, dgn argumentasi bhw yg jadi concern, tugas/kewajiban dan tanggungjawab nya adalah hal-hal dalam lingkup pekerjaan yg ditugaskan saja, sedang hal2 lain di luar penugasan kantor, adalah hak masing2 individu.

Sesungguhnya, pembiaran pd hal2 negatif yg kurang pantas dan tdk pd tmpatnya sperti ini lah yg berkontribusi merusak tatanan dan spirit bekerja. Dan pmbiaran keburukan trjadi di depan mata, tanpa saling tausiyyah dan menasehatkan, adalah sama saja dgn tindakan menyetujui (mski scara pasif). Padahal, tindakan utk ber-tausiyyah dan saling menasehati, adalah tugas “asasi” setiap individu, yg melekat pd jati diri seorang muslim.

Saat ini, justru pendekatan yg bersifat personal dlm sbuah model “interactive team-work” adalah pendekatan baru yg banyak diterapkan oleh korporasi besar dan sukses, layaknya membangun sbuah “big-family”. Pendekatan ini adalah melestarikan, melanggengkan dan bahkan menggali nilai-nilai sosial yang positif dan menjadi altar (background) bagi aktivitas profesional. Pendekatan yg lbih berbudaya dan beradab ini, menggantikan pendekatan lama ‘ala industri manufaktur jepang pada era kejayaannya, dimana SDM adalah hanya salah-1 bagian/komponen dlm sbuah proses produksi, yg bekerja dgn SOP tertentu. Pada era lama itu, pemimpin hanya brkewajiban menjabarkan hal2 teknis dan mekanis sesuai dgn SOP, shg tidak memiliki keleluasaan utk sling belajar, sling membangun kepribadian dan mngembangkan karakter dasar yg positif bagi sesama personil.

Pemimpin yg handal adlah pemimpin yg brani menegakkan keadilan, bisa bersikap tegas dan lugas sesuai kondisinya kpada pihak manapun yg brtujuan merusak sesuatu yg sedang dibangun, utk selamatkan masa depan.

Terakhir, pemimpin (individu) yang baik adalah pemimpin yg menyadari sepenuhnya bhw aktivitas berkerja (profesional) itu, bukan lah sekedar aktivitas mencari uang, atau mencari mata pencaharian, tapi bekerja adalah sebuah bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta, sebagai ungkapan syukur atas karunia waktu dan beragam fasilitas dan kesempurnaan dalam diri manusia. Dus, bekerja adalah ibadah. Karena sebuah bentuk aktivitas peribadatan, yang lazimnya dilakukan secara tumakninah (tenang, tulus, prasangka baik dan karenanya “menyatu”), maka bekerja pun harus dilakukan dgn jiwa dan semangat yg sama, krena sttiap aktivitas dlm pekerjaan kita, adalah cara kita “mendekati” Tuhan.

Wallahu a’lam bish_shawwab.

HS@Kalibata 7 Mei 2015

Leave a comment