Narasi Fitry: SLB Baleendah (lebih) Bersinar

16 Januari 2016

Memulai Hari

Ketidakhadiran saya di kunjungan pertama ke SLB Baleendah hari Sabtu pekan lalu mendorong saya untuk siap-siap dengan lebih semangat dibandingkan hari kemarin.

Saya merasa sedikit gugup dan banyak nekat, karena hari ini akan menjadi momen pertama saya berinteraksi dengan anak-anak di sana. Untungnya memang pendamping asli untuk SLB Baleendah adalah Ksatria, saya lebih semangat membantu grecokin orang daripada pergi sendiri, hehehe. Sahlan, ketua GSB Bersinar SMP 11 Bandung, juga akan hadir di tempat untuk mencoba menjadi fasilitator. SMP 11 memang dampingan saya, sehingga tunailah motivasi saya untuk pergi.

Ksatria sudah menyampaikan kemarin malam untuk siap jam 7 pagi. Saya baru siap pukul 7.25, tapi Ksatria ternyata baru datang jam 8 pagi. Ketiduran, katanya. Kami tiba dengan motor di Baleendah pukul 9.15, dan langsung ke ruangan kepala sekolah. Rasanya jadi tertohok saat Ibu Uus, kepsek Baleendah, menyampaikan kalau anak-anak sudah menunggu-nunggu dan menanyakan kami sedari tadi. Sahlan bahkan sudah hadir di sanalebih awal dari kami.

Sambil menanyakan nomor Sahlan ke Bu Nia, saya mengantongi handphone dan mengikuti panduan dari Bu Uus menuju lantai atas, karena anak-anak yang sudah pramuka dan upacara sudah berada di sana menunggu kami. Saya baru mengecek handphone kembali sekitar jam 10, sehingga Sahlan dan mamanya harus menunggu lama sebelum saya jemput ke bawah. Maafkan teteh ya. 😦

Sambutan yang Hangat

Iqbal, salah satu murid di Baleendah, sudah menunggu kami di puncak tangga belakang. “Kakak sudah sampai,” katanya sambil meraih tangan saya untuk salam.

Bu Uus mengajak Iqbal untuk masuk ke dalam ruangan, terutama karena kedua temannya ikut penasaran dan menghampiri kami. Saya mendapati tangganya cukup curam dan sempit, bagaimana untuk evakuasi dengan aman, ya…?

Di ruangan kelas, Nisa langsung datang, mengajak saya salam dan kenalan dengan semangat. “Yang lain mana?” Ia langsung menanyakan apakah ada yang datang dengan saya. Anak-anak di Baleendah memiliki kebutuhan ganda, salah satunya lamban belajar, tapi Nisa menyampaikan kata-katanya dengan lugas saat mengajak saya mengobrol, membuat saya merasa langsung diterima. Anak-anak yang lain langsung mengikutinya dan memberi salam; saya senyum-senyum sendiri saat banyak yang saling membantu menuntun temannya untuk menghampiri kami.

“Boleh diambil fotonya untuk dokumentasi bu?” saya bertanya ke Ibu guru mereka. Ia mengiyakan.

Ksatria mengobrol dengan bapak dan ibu guru yang juga sudah ada di dalam ruangan. Ruangan itu mirip auditorium; dengan jumlah anak-anak sekitar 25 orang, masih banyak ruang kosong yang bisa digunakan. Banyak anak-anak yang kecil sudah membuka-buka bahan sosialisasi yang saya bawa, pemberian dari lembaga lain termasuk Plan dan ASB. Bahan ajar yang lebih besar dari A3 memang menggoda untuk dibuka-buka dengan gambar-gambar yang menarik. Niat awal saya untuk bantu membukakan, malah menjadi sesi penjelasan yang disimak banyak anak, agak melenceng dari jadwal.

Untungnya, ibu guru di SLB Baleendah sigap membantu kami mengelompokkan anak-anak sehingga suasana langsung lebih rapi. Ada tiga orang anak yang disabilitas netra di kelompok yang jauh: Nisa yang ceria, Gina yang mungil, dan Raihan yang perhatian. Anak-anak yang disabilitas rungu juga dikelompokkan di bagian belakang. Kelompok yang paling besar adalah disabilitas grahita, tapi di antara mereka, beberapa anak yang laki-laki berusia SMA berkelompok sendiri di dekat kami, asyik berceletuk ria saat kami di depan.

Ksatria memulai dengan perkenalan diri dan mengajak beberapa anak bercerita tentang bencana yang mereka tahu dan yang pernah dialami. Memulai dari penggalian memang menyenangkan, karena kita jadi tidak harus cerewet menjelaskan, hehe. Dari yang saya ingat, Windi, Virdi, dan Farhan ke depan untuk bercerita. Farhan didorong-dorong oleh guru-guru yang ikut melihat untuk maju karena terkena bencana banjir dan saat ini masih mengungsi di rumah susun, bukan di rumahnya sendiri.

 

Gambar dan Lagu

Setelah itu, Ksatria menyampaikan instruksi untuk sesi menggambar tentang bencana. Saya membantu Bapak guru untuk membagikan kertas. Kami sudah sepakat bahwa saya akan membantu anak-anak yang lebih suka pendekatan lagu untuk menyanyi, sementara Ksatria mendampingi anak-anak lainnya dengan pendekatan gambar.

Sayangnya, alat tulis yang kami bawa kurang banyak dan beragam. Saya memberi catatan pribadi untuk memiliki ATK sendiri untuk kebutuhan Safari GeMBIRA, agar tidak saling pakai dengan keperluan BKB KerLiP di Dago Barat. Anak-anak yang menggambar menunggu cukup lama sebelum dibagikan alat warna. Saat mereka mulai, akhirnya saya bisa fokus ke anak-anak yang mendapat pendekatan lagu. Lagu yang dinyanyikan? Pasti “Kalau Ada Gempa”.

Nisa dan Gina cepat hapal dan cepat bisa memperagakan. Raihan, saya agak bingung. Matanya perhatian ke arah saya, tapi dia tidak merespon banyak saat saya mengajak berbicara secara khusus. Beberapa kali saya bertanya pada Bu Guru di sana, tapi memang begitu pengelompokkannya. Sepertinya, Raihan low vision, masih bisa melihat, tapi dia juga disabilitas rungu. Saya merasa akan lebih mudah untuk Raihan menggambar daripada menyanyi, sehingga saya ikut memberi kertas dan alat tulis sebelum kembali ke Nisa dan Gina. Selain mereka bertiga, Iqbal berkali-kali menghampiri dan menyampaikan kalau dia ingin ikut bernyanyi, meskipun gambarnya belum selesai. Akhirnya, dia pun masuk ke kelompok yang ikut belajar melalui lagu.

Anak-anak lain masih menggambar meskipun saya sudah selesai dengan Nisa, Gina, dan Iqbal. Raihan juga masih sibuk menggambar. Dengan waktu yang masih banyak, saya akhirnya terdorong untuk mengajak anak-anak menggubah lirik lagu sendiri. Lagunya, berdasarkan “Balonku”, karena topik hari ini adalah jenis-jenis bencana. Nisa hapal bagian awal, tapi Gina yang berkali-kali mengingatkan saya tentang lirik yang isinya jenis bencana. Lagunya begini:

Bencana ada banyak

            Rupa-rupa namanya

            Gempa dan kebakaran

            Longsor, banjir, tsunami

            Gunung api meletus, DHUAR!

            Lari ke tempat aman

            Membawa tas siaga

            Lari ke tempat aman…

“Lari ke tempat aman” diulang dua kali karena kita belum selesai mencari-cari apa yang kira-kira pas. Mungkin minggu depan, lirik lagunya ganti lagi sampai menemukan apa yang paling pas, terutama untuk tiga bait terakhir. Saya juga diingatkan Bu Yanti kalau kita tidak boleh “lari”, tapi menyelamatkan diri tanpa panik. Siap, Bu, hehehe.

Rupanya, kegiatan itu juga menarik perhatian beberapa anak lain. Dhila yang semangat dan Raisya yang manis juga datang minta diajari lagu, karena sudah selesai. Rizqi yang kecil juga datang terus, tapi menggeleng-geleng saat minta diajari. Saya meminta ijin ke Nisa dan Gina untuk mengajari “Kalau Ada Gempa” ke Dhila dan Raisya.

Tiba-tiba, saya merasakan handphone bergetar. Rupanya Bu Nia yang menyampaikan kalau Sahlan dan mamanya sudah menunggu lama. Duh, maafkan teteh ya, keasyikan di dalam. 😥

Menjemput Sahlan ke atas, kita mengobrol. “Hari ini aku ke sini untuk apa teh?” tanyanya.

“Gantian jadi observer ya, kan teman-teman sebentar lagi ke SLB Kasih Ibu,” jawab saya. Persisnya mungkin bukan seperti itu, tapi maksudnya seperti itu. Hehe.

 

Pertanyaan-Pertanyaan Super Serius

Di ruangan, saya kembali ke Dhila dan Raisya. Mereka belum selesai menghapal lagunya, karena perhatian saya terus menerus teralihkan oleh teman-teman mereka yang bertanya-tanya tentang bencana.

Kebanyakan dari anak-anak di Baleendah pasti pernah terkena banjir, jadi itu yang ditanyakan.

“Kak, kalau banjir larinya kemana?” Itu Klarisa yang bertanya.

“Kalau pas banjir lagi seterika gimana?” Itu Windi. “Kalau listrik dicabut, tapi Mama lagi masak, gimana?” Windi bertanya lagi saat saya jawab pertanyaannya yang pertama. Dia bertanya 3 kali soal seterika, lucu deh. Kenapa ya, kira-kira?

Kami juga membuka-buka buku gambar besar itu, mengobrol asyik tentang bencana, sesekali saya kembali ke Dhila dan Raisya untuk lagu dan memperagakan. Ksatria menghampiri saya dan berkata, “Teh, anak-anak yang teteh ajari lagu, biar ajari teman-teman dulu ya nanti.”

Tentu saja saya iyakan, sepertinya semakin banyak yang minat, jadi bagusnya seperti itu. Kami masih melakukan sesi mengobrol bebas sampai akhirnya Bu Nia datang tidak lama setelahnya.

Sesi penggalian sudah selesai, anak-anak yang masih ada di dalam juga sudah membubuhkan nama ke lembar gambar mereka, dan dimulailah sesi berikutnya. Sebelum sharing isi gambar,kelima anak yang bernyanyi bersama tadi ke depan. Tapi, saya lupa kalau Gina dan Nisa tidak melihat saya melambaikan tangan dan mengajak mereka ke depan. Teman-temannya malah lebih sigap membantu dan ingin ikut maju, sehingga yang di depan ada 9 orang.

Awalnya saya di belakang, merekam nyanyian mereka, lalu ikut di depan. Saya juga mendatangi kelompok anak-anak laki-laki yang lebih dewasa dan menyanyi bersama mereka secara khusus. “Minggu depan, kita peragakan lagu ini sampai ke lapangan ya, teteh minta bantuan Virdi, Farhan, dan teman-teman yang ada di sini untuk membantu adik-adik yang lebih kecil, ya.”

“Oh iya, kaya yang susah gerak ya,” kata Farhan.

Virdi tidak disangka-sangka bertanya, “Bu, kalau ada anak yang susah denger, itu si Ixxx (?) lagi main, ada mobil sirene, tapi dia tidak mendengar, saya tarik tangannya dengan keras, ga pa pa, Bu?”

Virdi sering nyeletuk dan bercanda saat ada dengan teman-temannya dengan suara kencang saat yang lain mendengarkan; salah satu alasan saya mencoba menempatkan kelompoknya di peran yang paling diandalkan di lapangan. Tapi saat bertanya, ekspresinya serius. Saya minta dia mengulang lagi deskripsinya tentang situasi itu. Karena dia berkata “dengan keras”, saya meminta dia untuk lebih lembut berikutnya. Entah apakah respon saya sudah tepat.

 

Maju Berbagi

Beberapa anak sudah pulang, memang sudah melewati jam setengah 11 pagi. Menariknya, anak-anak tetap semangat maju ke depan. Rasanya, tingkat perhatian mereka untuk jangka waktu yang panjang bahkan lebih banyak dibandingkan pengalaman saya menjadi fasilitator di tempat lain.

Saat diminta untuk maju, saya meminta Ksatria agar ada anak yang disabilitas rungu untuk ikut berbagi. Ksatria mengiyakan, ada kejutan kecil menanti kami nantinya dalam bentuk seorang anak bernama Wildan. Tapi, bukan Wildan yang maju pertama.

Farhan maju lagi, kembali didorong oleh guru-guru karena tahu situasinya bagaimana. Dia anak laki-laki yang paling besar dibanding anak-anak yang mungil lain.

Kalau tidak salah, anak berkerudung coklat dengan poni menyembul dari balik tudungnya itu bernama Klarisa. Dia yang bilang, “Kak, aku belum maju~” Dia pun maju berikutnya.

Gambar Virdi bagus, tapi dia mendadak hilang pas gilirannya. Bu Uus di penghujung hari menambahkan kalau dia memang sering panik saat giliran maju.

Yang berkesan adalah Naufal. Saat berjalan, lebih mudah baginya dibantu teman-teman, tapi dia tetap maju. Ibu-ibu guru tidak hanya melihat dia berbagi cerita, tapi juga mengomentari lebih awal. Memang butuh waktu cukup lama bagi Naufal untuk berbagi, tapi suaranya lugas dan jernih, dengan posisinya yang duduk di atas kursi, rasanya mendengar deklamasi puisi, atau kyai yang berdakwah. Apalagi kalimatnya diakhiri, “Pesan saya untuk teman-teman, kita jangan membuang sampah… sembarangan ya, karena akibat itulah banjir terjadi.” Semua pun bertepuk tangan.

Wildan menjadi kejutan yang indah, gambar punyanya bagus sekali. Detil dan lebih bagus daripada kalau saya menggambar alam, haha. Saya meminta Bapak guru untuk menyampaikan kalau dia boleh menggunakan bahasa isyarat, tapi pak guru menjawab bahwa dia bisa berbicara, hanya malu. Dengan suara yang pelan, dibantu gerakan tangan yang semangat, dia melihat ke arah pak guru sambil menjelaskan isi gambarnya tentang puting beliung. Memang bukan apa yang dia alami sendiri, tapi Ksatria menambahkan belakangan, kalau teman-teman di kelompoknya, begitu dijelaskan tentang bencana, segera membuka smartphone dan google tentang bencana tersebut. Teman yang mencari di smartphonenya itu segera berbagi ke teman-temannya.

Windi juga kembali berbagi, apa yang ia gambar dan apa yang terjadi di gambar itu. Di depan, dia kurang bisa menjelaskan gambarnya. Tapi kemudian, dia mendatangi saya. “Ceritaku masih panjang kak, gambar di rumah boleh ngga?” tanyanya. Tentu saja saya jawab boleh.

Sayangnya, batere handphone saya sudah tidak bisa merekam, padahal masih ada yang lain. Nisa maju. Selain bercerita, Nisa juga menyanyikan lagu “Rupa-Rupa Bencana” yang kita gubah bersama, hehehe.

Cecep juga maju ke depan. Katanya, mau bernyanyi juga, jadi kita sama-sama menyanyi “Kalau Ada Gempa”.

Gina terakhir, bercerita tentang apa yang terjadi di rumahnya saat gunung api meletus. Memang jaraknya jauh, tapi dia takut. Dengan mamanya, ia bersembunyi di rumah. Bu Nia memeluk Gina sebelum ia kembali duduk.

Minggu Depan, Yuk!

Sebelum bubar, ada sesi foto bersama dengan anak-anak, sambil memamerkan hasil gambar mereka. Nisa juga senyum penuh semangat saat diberi aba-aba. Salah seorang anak sedih karena lembar gambarnya tidak ditemukan. Saya mengusulkan agar ia menggambar di rumah, tapi temannya menjawab, “Kalau gambar di rumah, nanti diperbaiki sama ibunya, kak.” Jadi saya pun mengajaknya untuk menggambar lagi minggu depan.

Windi juga datang dan berkata, “Janji ya kak, datang minggu depan.”

Kata Bu Uus, anak-anak di Baleendah selalu konsisten, jadi kita juga harus konsisten. Insya Allah ya, Bu.

Rupanya, memang SLB Baleendah sering dijadikan tempat kunjungan dari luar, baik mahasiswa maupun anak-anak SMA. Terlihat dari keramahan anak-anak menyambut kami. Yuk ah, jadikan SLB Baleendah jadi Sekolah Bersinar! 😀

 

Notes:

  • Sediakan ATK untuk Safari GeMBIRA terpisah dari punya BKB KerLiP
  • Lagu “kalau ada gempa” disertai gambar/foto yang memperagakan (Usulan Bu Nia)
  • Kalau gambar, mungkin bisa mengajak anak-anak supaya menggambarkan, hehehe
  • Lirik lagu “Rupa-Rupa Bencana” diganti bagian akhir supaya tertib pas evakuasi, “tas siaga” jadi “tas aman SHIAGA”, bagian akhir bisa “kumpul di tempat aman” (Usulan Bu Yanti)
  • Membuat lembar evaluasi fasilitator supaya guru-guru yang hadir bisa monitoring (tumben lho, guru yang mengamati sebanyak itu, sampai 3 bu guru dan 1 pak guru—yang langsung hapal lagu “Kalau ada gempa”)
  • Rambu disederhanakan jadi 2 warna: merah tanda silang untuk tempat bahaya, biru tanda panah untuk jalur evakuasi
  • Menyelipkan sosialisasi tas aman SHIAGA dan pengolahan sampah, karena anak-anak sangat perhatian urusan menyelamatkan diri dari banjir (mungkin biopori juga?)
  • Proses fasilitasi paling asyik yang pernah dirasakan! Sampai lupa dokumentasi foto pas fasilitasi, hiks, malah lebih banyak rekaman saat anak-anak maju… Hmm… Cari relawan lagi, untuk dokumentasi?
  • Kunjungan ke Baleendah bisa dimasukkan ke program *pst rahasia karena belum jadi* untuk bagian volunteeringnya

Leave a comment